Rabu, 10 Juli 2013

Makna Buka Puasa

Buka puasa adalah sebutan untuk sebuah pekerjaan membatalkan puasa pada waktu maghrib yang dilakukan dengan makan dan minum secara halal dan secukupnya dengan sunnah-sunnah yang telah ditentukan. Istilah buka puasa sudah tak asing lagi bagi orang yang mengerjakan ibadah puasa. Seolah ia menjadi trend dari ibadah yang setahun sekali dilaksanakan. Namun tak banyak orang yang merenungi / mengkaji rahasia dari makna yang terkandung dalam istilah “buka puasa”.
Bagi kebanyakan kita, buka puasa itu disajikan dalam bentuk beraneka ragam makanan dan minuman yang hampir tidak ditemukan dalam bulan-bulan lain. Seolah ia adalah sebuah perhelatan besar untuk menjamu tamu-tamu istimewa, terkesan mewah. Di setiap rumah, bahkan musholla atau masjid, masing-masing memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan biologinya. Padahal puasa itu seharusnya lebih berimplikasi pada terbentuknya mental pengendalian hawa nafsu. Namun sepertinya orientasi itu tidak terlihat sama sekali. Kenikmatan yang diraih adalah kenikmatan jasadiah yang justru malah menutup kenikmatan ruhaniah yang seharusnya termanipestasi pada rasa syukur.
Dalam bahasa Arab, buka puasa itu disebut futhur atau ifthar. Bentuk mashdar (kata benda) dari akar kata kerja fathara. Futhur juga dipakai untuk sebutan sarapan pagi. Secara etimologis, bentuk kata futhur berasal dari huruf fa tha dan ra. Huruf-huruf itu juga merupakan sumber dari kata fithrah yang berarti kesucian. Jadi, futhur dengan fithrah berasal dari satu sumber yaitu fa tha ra yang artinya adalah kesucian.
Futhur dalam pengertian orang puasa bermakna “buka puasa”. Istilah buka puasa harus dipahami secara hakiki bukan secara syar’i. kalau pemahaman buka puasa berhenti pada pengertian syari’at, maka buka puasa itu tidak bermakna apa-apa kecuali membatalkan puasa dengan cara makan/minum pada saat maghrib. Orientasinya hanyalah biologis, jasadiyah.
Biasanya, istilah buka itu lebih identik sebagai permulaan, bukan symbol yang menunjukkan sebuah pengakhiran. Namun dalam pengertian pada umumnya, istilah “buka” itu diartikan justru sebagai penutup puasa. Jika tidak dikaji secara lebih mendalam, istilah buka puasa itu sangatlah ironis. Bahasa Indonesia memilih istilah buka puasa untuk pembatalan puasa pada saat maghrib bukanlah tanpa makna.
Rasulullah saw bersabda:
لِلصَّآئِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ اْلفُطُوْرِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَآءِ رَبِّهِ.
Ada dua kebahagiaan bagi orang yang puasa; Kebahagiaan pada saat buka dan kebahagiaan pada saat berjumpa dengan Tuhan.
Pada Hadits tersebut, kebahagiaan berbuka diselaraskan dengan kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan. Kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan bersifat ruhani, maka semestinya kebahagiaan berbuka juga merupakan kebahagiaan yang bersifat ruhani. Tidak available kalau kebahagiaan ruhani dinisbatkan pada pemenuhan kebutuhan jasad, apalagi dihubungkan dengan kebahagiaan bertemu dengan Tuhan. Ada hal lain dari buka puasa yang harus dikaji lebih mendalam dari sekedar pemenuhan jasad.
Buka puasa yang dilakukan pada saat menjelang malam (maghrib) sangatlah berkaitan erat dengan keadaan alam yang gelap. Istilah “buka” menunjukkan sebuah penyingkapan sesuatu yang tertutup (terhijab). Sedangkan saat berbuka jatuh pada permulaan kegelapan malam yang menyimbolkan tertutupnya segala penampakan-penampakan. Makna saat maghrib adalah mulai tertutupnya segala penampakan kebendaan karena terangnya siang telah berakhir. Jadi, kegelapan malam merupakan symbol dari ketertutupan. Karena itu, ia harus dibuka. Penekanannya lebih kepada keadaan malam. Karena, justru pada saat malamlah sebenarnya poses pembentukan jati diri itu berlangsung. Keheningan malam membawa kita kepada sebuah keadaan di mana kita dituntut untuk membaca diri. Sebuah proses awal dari mengenal Tuhan.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.
Waktu malam adalah symbol dari ketenangan, kegelapan dan kehampaan. Semua visualisasi kebendaan sirna pada malam hari. Kegelapan melepaskan kita dari gambaran-gambaran dunia yang mengikat kita pada saat siang. Persepsi pikiran kita pada siang hari sangatlah dipengaruhi oleh pandangan mata kita. Karena itu, puasa mengarahkan kita untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu persepsi dunia. Ketika persepsi diri terlepas dari gambaran dunia lewat menahan hawa nafsu pada siang hari, maka diri akan terbuka (terlepas) dari sifat-sifat dunia yang memperdaya dan siap untuk memasuki sebuah keadaan di mana sifat-sifat Tuhan akan muncul di dalam diri kita.
Ruhani kita tidak butuh makanan dan minuman atau partikel-partikel dunia lainnya. Ia berdiri sendiri dan menjadi raja pada jasad kita. Pikiran kitalah yang selalu mengingkari titah-titah sang raja. Perintah sang raja tertutup oleh perintah pikiran kita sendiri. Puasa menundukkan pikiran kita agar ia patuh pada perintah ruhani. Perintah ruhani terhubung pada alam yang lebih tinggi. Sinyalnya kuat tanpa hijab dan membawa diri untuk lebih mengenal-Nya. Pada pikiranlah nafsu itu muncul. Ia tidak perlu dimatikan tapi ditenangkan, ditundukkan dan dikendalikan agar ia terhubung dengan perintah dari alam yang lebih tinggi.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (al-Fajr: 27-30)
Buka puasa menjelang malam mengandung makna melepaskan pakaian dunia dari alam pikiran dan membangkitkan spirit ketuhanan dalam diri lewat rasa kita sendiri yang dilatih sejak pagi hingga menjelang malam. Kecintaan terhadap dunia berada di alam pikiran kita sendiri, menutup akal kesadaran kita yang seharusnya membawa kita kepada Tuhan. Seharusnya akal pikiran kita membawa kita kepada kesadaran tertinggi yang berujung pada pola berpikir ketuhanan. Bekerja untuk ridha Allah adalah kata kunci untuk membuat diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa ini menjadi stabil.
Buka puasa pada saat maghrib adalah dimulainya sebuah proses pembukaan diri untuk menerima pesan-pesan Allah lewat ayat-ayat-Nya baik kauniyyah maupun qauliyyah. Seperti sebuah belanga yang dibuka tutupnya, siap untuk dimasuki air. Menerima pesan Allah lewat ayat-ayat kauniyyah dan qauliyyah dapat menetralisir kehidupan diri sendiri, keluarga, lingkungan dan bangsa.
Malam adalah sebuah symbol kehampaan karena hilangnya gambaran-gambaran dunia. Seperti bayi yang lahir dalam keadaan fitrah. Keadaan fitrah adalah kehampaan yang tak ada satupun angan-angan, mimpi yang menyesatkan atau hayalan-hayalan dari pikirannya sendiri yang menyuruh untuk jadi ini dan itu. Bagi bayi, pemandangan dunia itu belum terbayangkan dan belum mengikat pikirannya sendiri. Karena itu, bayi dikatakan fitrah, yakni hampa dari segala sesuatu yang merusak dirinya sendiri.
Kondisi fitrah bagi manusia dewasa diraih dengan cara melepaskan gambaran-gambaran dunia dalam pikirannya. Gambaran dunia itu adalah sumber kerusakan dan kehancuran. Segala sesuatu yang berlawanan dan bertentangan, yang memunculkan peperangan, yang memunculkan pertikaian dan yang membuat ketidakseimbangan alam, semua bersumber dari gambaran dunia. Karena itulah, perintah puasa diturunkan untuk membenahi segala kerusakan yang ditimbulkan dari diri setiap orang. Jika pikiran setiap orang berorientasi pada kemaslahatan, maka alam akan tertata dengan tertib. Keadaan tersebut adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia. Karena manusia sudah tunduk pada perintah dari alam yang lebih tinggi, yakni Allah swt.
Melatih diri untuk memasuki kondisi hampa harus dengan pola yang benar dan strategi yang jitu. Karena yang dilatih dalam diri kita adalah meluruskan pikiran dengan hati. Karena hati adalah tempat bersemayamnya ruh. Singgasana di mana Allah menurunkan perintah. Orang yang menggunakan hati untuk melihat dan memahami sesuatu disebut dalam al-Qur’an sebagai ulul albab, yakni orang yang menggunakan lubb. Lubb adalah bagian terdalam dari hati. Rasulullah bersabda dalam Hadits Qudsi:
ِفي قَلْبٍ فُؤَادٌ وَفيِ فُؤَادٍ لُبٌّ وَفيِ لُبٍّ سٍرٌّ وَفيِ سِرٍّ أَناَ
Di dalam hati ada fuad, di dalam fuad ada lubb, di dalam lubb ada sir, di dalam sir ada Aku (Allah)
Puasa adalah pelatihan mental bukan jasad. Jasad hanyalah gerbang untuk melatih mental. Melatih jasad tidak serta merta mental akan terlatih. Jasad dapat terbentuk dari kekuatan mental. Kekuatan mental terletak pada persepsi dan cara berpikir yang selalu dinisbatkan pada nurani, yakni hati.
Buka puasa merupakan latihan untuk membaca diri di awal malam. Membaca diri dimulai dengan istighfar atau permohonan ampun, lalu diteruskan dengan muhasabah (pengakuan dosa), lalu diteruskan dengan tahmid (puji-pujian), dan tasbih (penyucian). Kesadaran itu harus membentuk suatu daya dan kekuatan untuk memperbaiki dan membenahi diri, tidak berhenti sampai di situ.
Memiliki kekuatan untuk memperbaiki diri merupakan kenikmatan tersendiri. Karena proses itu yang akan membawa kita kepada kenikmatan hakiki, yakni dapat membuka petunjuk-petunjuk di alam semesta. Membuka petunjuk-petunjuk di alam semesta juga merupakan kenikmatan tersendiri. Karena proses itu yang akan membawa kita kepada kesadaran yang lebih tinggi seperti yang di alami oleh Nabi Muhammad SAW ketika Mi’raj. Muara dari segala kesadaran itu berpuncak pada Allah swt. Hal itu tidak terjadi nanti di hari akhirat, tapi sekarang. Hari ini kita merubah diri, hari ini pula kita telah memulai untuk berjumpa dengan Tuhan. Kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan adalah juga kebahagiaan orang yang membuka diri di saat puasa.
Seseorang yang membuka dirinya untuk menerima cahaya Tuhan adalah orang yang diberikan nikmat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Ia akan diampuni segala dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Ia akan ditunjukkan pada jalan yang lurus dan akan di tolong dengan pertolongan yang besar. Maghrib adalah masa transisi antara terangnya siang dan gelapnya malam. Buka puasa pada saat maghrib juga bermakna menutup diri dari pandangan-pandangan kebendaan sebagai symbol dari siang, dan membuka diri terhadap pandangan-pandangan haqiqi yang lepas dari unsur rupa dan warna sebagai symbol dari kegelapan malam.
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang Telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang Kuat (banyak). Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Supaya dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah. (al-Fath: 1-5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar