Buka
puasa adalah sebutan untuk sebuah pekerjaan membatalkan puasa pada
waktu maghrib yang dilakukan dengan makan dan minum secara halal dan
secukupnya dengan sunnah-sunnah yang telah ditentukan. Istilah buka
puasa sudah tak asing lagi bagi orang yang mengerjakan ibadah puasa.
Seolah ia menjadi trend dari ibadah yang setahun sekali dilaksanakan.
Namun tak banyak orang yang merenungi / mengkaji rahasia dari makna yang
terkandung dalam istilah “buka puasa”.
Bagi
kebanyakan kita, buka puasa itu disajikan dalam bentuk beraneka ragam
makanan dan minuman yang hampir tidak ditemukan dalam bulan-bulan lain.
Seolah ia adalah sebuah perhelatan besar untuk menjamu tamu-tamu
istimewa, terkesan mewah. Di setiap rumah, bahkan musholla atau masjid,
masing-masing memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
biologinya. Padahal puasa itu seharusnya lebih berimplikasi pada
terbentuknya mental pengendalian hawa nafsu. Namun sepertinya orientasi
itu tidak terlihat sama sekali. Kenikmatan yang diraih adalah kenikmatan
jasadiah yang justru malah menutup kenikmatan ruhaniah yang seharusnya
termanipestasi pada rasa syukur.
Dalam
bahasa Arab, buka puasa itu disebut futhur atau ifthar. Bentuk mashdar
(kata benda) dari akar kata kerja fathara. Futhur juga dipakai untuk
sebutan sarapan pagi. Secara etimologis, bentuk kata futhur berasal dari
huruf fa tha dan ra. Huruf-huruf itu juga merupakan sumber dari kata
fithrah yang berarti kesucian. Jadi, futhur dengan fithrah berasal dari
satu sumber yaitu fa tha ra yang artinya adalah kesucian.
Futhur
dalam pengertian orang puasa bermakna “buka puasa”. Istilah buka puasa
harus dipahami secara hakiki bukan secara syar’i. kalau pemahaman buka
puasa berhenti pada pengertian syari’at, maka buka puasa itu tidak
bermakna apa-apa kecuali membatalkan puasa dengan cara makan/minum pada
saat maghrib. Orientasinya hanyalah biologis, jasadiyah.
Biasanya,
istilah buka itu lebih identik sebagai permulaan, bukan symbol yang
menunjukkan sebuah pengakhiran. Namun dalam pengertian pada umumnya,
istilah “buka” itu diartikan justru sebagai penutup puasa. Jika tidak
dikaji secara lebih mendalam, istilah buka puasa itu sangatlah ironis.
Bahasa Indonesia memilih istilah buka puasa untuk pembatalan puasa pada
saat maghrib bukanlah tanpa makna.
Rasulullah saw bersabda:
لِلصَّآئِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ اْلفُطُوْرِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَآءِ رَبِّهِ.
Ada dua kebahagiaan bagi orang yang puasa; Kebahagiaan pada saat buka dan kebahagiaan pada saat berjumpa dengan Tuhan.
Pada
Hadits tersebut, kebahagiaan berbuka diselaraskan dengan kebahagiaan
berjumpa dengan Tuhan. Kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan bersifat
ruhani, maka semestinya kebahagiaan berbuka juga merupakan kebahagiaan
yang bersifat ruhani. Tidak available kalau kebahagiaan ruhani
dinisbatkan pada pemenuhan kebutuhan jasad, apalagi dihubungkan dengan
kebahagiaan bertemu dengan Tuhan. Ada hal lain dari buka puasa yang
harus dikaji lebih mendalam dari sekedar pemenuhan jasad.
Buka
puasa yang dilakukan pada saat menjelang malam (maghrib) sangatlah
berkaitan erat dengan keadaan alam yang gelap. Istilah “buka”
menunjukkan sebuah penyingkapan sesuatu yang tertutup (terhijab).
Sedangkan saat berbuka jatuh pada permulaan kegelapan malam yang
menyimbolkan tertutupnya segala penampakan-penampakan. Makna saat
maghrib adalah mulai tertutupnya segala penampakan kebendaan karena
terangnya siang telah berakhir. Jadi, kegelapan malam merupakan symbol
dari ketertutupan. Karena itu, ia harus dibuka. Penekanannya lebih
kepada keadaan malam. Karena, justru pada saat malamlah sebenarnya poses
pembentukan jati diri itu berlangsung. Keheningan malam membawa kita
kepada sebuah keadaan di mana kita dituntut untuk membaca diri. Sebuah
proses awal dari mengenal Tuhan.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.
Waktu
malam adalah symbol dari ketenangan, kegelapan dan kehampaan. Semua
visualisasi kebendaan sirna pada malam hari. Kegelapan melepaskan kita
dari gambaran-gambaran dunia yang mengikat kita pada saat siang.
Persepsi pikiran kita pada siang hari sangatlah dipengaruhi oleh
pandangan mata kita. Karena itu, puasa mengarahkan kita untuk melepaskan
diri dari belenggu-belenggu persepsi dunia. Ketika persepsi diri
terlepas dari gambaran dunia lewat menahan hawa nafsu pada siang hari,
maka diri akan terbuka (terlepas) dari sifat-sifat dunia yang memperdaya
dan siap untuk memasuki sebuah keadaan di mana sifat-sifat Tuhan akan
muncul di dalam diri kita.
Ruhani
kita tidak butuh makanan dan minuman atau partikel-partikel dunia
lainnya. Ia berdiri sendiri dan menjadi raja pada jasad kita. Pikiran
kitalah yang selalu mengingkari titah-titah sang raja. Perintah sang
raja tertutup oleh perintah pikiran kita sendiri. Puasa menundukkan
pikiran kita agar ia patuh pada perintah ruhani. Perintah ruhani
terhubung pada alam yang lebih tinggi. Sinyalnya kuat tanpa hijab dan
membawa diri untuk lebih mengenal-Nya. Pada pikiranlah nafsu itu muncul.
Ia tidak perlu dimatikan tapi ditenangkan, ditundukkan dan dikendalikan
agar ia terhubung dengan perintah dari alam yang lebih tinggi.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (al-Fajr: 27-30)
Buka
puasa menjelang malam mengandung makna melepaskan pakaian dunia dari
alam pikiran dan membangkitkan spirit ketuhanan dalam diri lewat rasa
kita sendiri yang dilatih sejak pagi hingga menjelang malam. Kecintaan
terhadap dunia berada di alam pikiran kita sendiri, menutup akal
kesadaran kita yang seharusnya membawa kita kepada Tuhan. Seharusnya
akal pikiran kita membawa kita kepada kesadaran tertinggi yang berujung
pada pola berpikir ketuhanan. Bekerja untuk ridha Allah adalah kata
kunci untuk membuat diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa ini menjadi
stabil.
Buka
puasa pada saat maghrib adalah dimulainya sebuah proses pembukaan diri
untuk menerima pesan-pesan Allah lewat ayat-ayat-Nya baik kauniyyah
maupun qauliyyah. Seperti sebuah belanga yang dibuka tutupnya, siap
untuk dimasuki air. Menerima pesan Allah lewat ayat-ayat kauniyyah dan
qauliyyah dapat menetralisir kehidupan diri sendiri, keluarga,
lingkungan dan bangsa.
Malam
adalah sebuah symbol kehampaan karena hilangnya gambaran-gambaran
dunia. Seperti bayi yang lahir dalam keadaan fitrah. Keadaan fitrah
adalah kehampaan yang tak ada satupun angan-angan, mimpi yang
menyesatkan atau hayalan-hayalan dari pikirannya sendiri yang menyuruh
untuk jadi ini dan itu. Bagi
bayi, pemandangan dunia itu belum terbayangkan dan belum mengikat
pikirannya sendiri. Karena itu, bayi dikatakan fitrah, yakni hampa dari
segala sesuatu yang merusak dirinya sendiri.
Kondisi
fitrah bagi manusia dewasa diraih dengan cara melepaskan
gambaran-gambaran dunia dalam pikirannya. Gambaran dunia itu adalah
sumber kerusakan dan kehancuran. Segala sesuatu yang berlawanan dan
bertentangan, yang memunculkan peperangan, yang memunculkan pertikaian
dan yang membuat ketidakseimbangan alam, semua bersumber dari gambaran
dunia. Karena itulah, perintah puasa diturunkan untuk membenahi segala
kerusakan yang ditimbulkan dari diri setiap orang. Jika pikiran setiap
orang berorientasi pada kemaslahatan, maka alam akan tertata dengan
tertib. Keadaan tersebut adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia.
Karena manusia sudah tunduk pada perintah dari alam yang lebih tinggi,
yakni Allah swt.
Melatih
diri untuk memasuki kondisi hampa harus dengan pola yang benar dan
strategi yang jitu. Karena yang dilatih dalam diri kita adalah
meluruskan pikiran dengan hati. Karena hati adalah tempat bersemayamnya
ruh. Singgasana di mana Allah menurunkan perintah. Orang yang
menggunakan hati untuk melihat dan memahami sesuatu disebut dalam
al-Qur’an sebagai ulul albab, yakni orang yang menggunakan lubb. Lubb adalah bagian terdalam dari hati. Rasulullah bersabda dalam Hadits Qudsi:
ِفي قَلْبٍ فُؤَادٌ وَفيِ فُؤَادٍ لُبٌّ وَفيِ لُبٍّ سٍرٌّ وَفيِ سِرٍّ أَناَ
Di dalam hati ada fuad, di dalam fuad ada lubb, di dalam lubb ada sir, di dalam sir ada Aku (Allah)
Puasa
adalah pelatihan mental bukan jasad. Jasad hanyalah gerbang untuk
melatih mental. Melatih jasad tidak serta merta mental akan terlatih.
Jasad dapat terbentuk dari kekuatan mental. Kekuatan mental terletak
pada persepsi dan cara berpikir yang selalu dinisbatkan pada nurani,
yakni hati.
Buka
puasa merupakan latihan untuk membaca diri di awal malam. Membaca diri
dimulai dengan istighfar atau permohonan ampun, lalu diteruskan dengan
muhasabah (pengakuan dosa), lalu diteruskan dengan tahmid (puji-pujian),
dan tasbih (penyucian). Kesadaran itu harus membentuk suatu daya dan
kekuatan untuk memperbaiki dan membenahi diri, tidak berhenti sampai di
situ.
Memiliki
kekuatan untuk memperbaiki diri merupakan kenikmatan tersendiri. Karena
proses itu yang akan membawa kita kepada kenikmatan hakiki, yakni dapat
membuka petunjuk-petunjuk di alam semesta. Membuka petunjuk-petunjuk di
alam semesta juga merupakan kenikmatan tersendiri. Karena proses itu
yang akan membawa kita kepada kesadaran yang lebih tinggi seperti yang
di alami oleh Nabi Muhammad SAW ketika Mi’raj. Muara dari segala
kesadaran itu berpuncak pada Allah swt. Hal itu tidak terjadi nanti di
hari akhirat, tapi sekarang. Hari ini kita merubah diri, hari ini pula
kita telah memulai untuk berjumpa dengan Tuhan. Kebahagiaan berjumpa
dengan Tuhan adalah juga kebahagiaan orang yang membuka diri di saat
puasa.
Seseorang
yang membuka dirinya untuk menerima cahaya Tuhan adalah orang yang
diberikan nikmat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Ia akan diampuni
segala dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Ia
akan ditunjukkan pada jalan yang lurus dan akan di tolong dengan
pertolongan yang besar. Maghrib adalah masa transisi antara terangnya
siang dan gelapnya malam. Buka puasa pada saat maghrib juga bermakna
menutup diri dari pandangan-pandangan kebendaan sebagai symbol dari
siang, dan membuka diri terhadap pandangan-pandangan haqiqi yang lepas
dari unsur rupa dan warna sebagai symbol dari kegelapan malam.
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya
kami Telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah
memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang Telah lalu dan yang akan
datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada
jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang
Kuat (banyak). Dia-lah yang
Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada).
dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. Supaya dia memasukkan orang-orang mukmin
laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya dia menutupi
kesalahan-kesalahan mereka. dan yang demikian itu adalah keberuntungan
yang besar di sisi Allah. (al-Fath: 1-5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar