Secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
Laa adalah nafiyah
lil jins (Menafikan jenis secara nash) yaitu Laa yang meniadakan
jenis kata benda yang datang setelahnya, misalnya : Laa rajula fil bait
(tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata
benda untuk jenis laki-laki, dalam contoh di atas kata rajula ini
terletak setelah laa nafiyah lil jins maka maknanya adalah
“tidak ada seorang pun dari jenis laki-laki berada di dalam rumah”.
Ilah adalah
mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek)
yakni bermakna ma`luhartinya ma’bud (yang
diibadahi) sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 dalam surah
Al-A’raf :
وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَ
تَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأََرْضِ وَيَذَرَكَ
وَءَالِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِيْ نِسَآءَهُمْ
وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْن َ
"Berkatalah
pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu membiarkan
Musa dan kaumnya untuk membut kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan
kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab :
”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak
perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. (QS.
Al-A’raf : 7/127).
Alihataka
(ilah-ilahmu) yaitu ibadah kepadamu karena Fir’aun
itu disembah dan tidak mau menyembah.
Lihat : Tafsir
Ibnu Jarir.
Dan dalam syair dari
Ru`bah Ibnul ‘Ujaj
لِلَّهِ دَرُّ الغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ
سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
“Betapa hebatnya
para wanita kaya yang cerdik mereka bertasbih dan membaca istirja’ melihat
Ta`alluhi (pengilahanku)”.
Sisi pendalilan dari
syair ini adalah kata Ta`alluhi(pengil ahanku) yakni
penyembahanku dan permintaanku kepada Allah dari amalanku.
Lihat : Fathul
Majid hal.19.
Illa
(kecuali). Pengecualian disini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa
dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadzjalalah
“Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang
telah dinafikan oleh kata laa.
Allah asalnya Al-Ilah
dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama diidhgamkan pada lam
yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam
yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam
Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Allah (lafadz
jalalah). Kata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-S
alikin 1/18 : “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan
ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah
kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan…”.
Lafadz jalalah
“Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah
tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan
Allah.
Kemudian Laa ini
masuk ke dalam mubtada dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah,
mubtada menjadi isim laa dan khobar
mubtada menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha
Illallah yang ada hanya mubtadanya saja yaitu ilah yang
asalnya Al-Ilah kemudian dibuang Al-nya karena
seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti
khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk
memahami maknanya dengan benar .
Maka para ulama
salaf mentaqdirkan bahwa yang dibuang tersebut adalah haqqun dengan
dalil firman Allah dalam surah Luqman ayat 30 :
ذَلِكَبِأَنَّاللهَهُوَالحَقُّوَأَنَّمَايَدْعُوْنَمِنْدُوْنِهِالبَاطِلُوَأَنََّاللهَهُوَالعَلِيُّالكَبِيْرُ
“Yang demikian
itu karena Allahlah yang hak dan apa saja yang mereka sembah selain Allah
adalah batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Luqman :
31/30).
Sedangkan lafadz
jalalah ( الله ) hanya badal dari ilah
bukan khobar laa
Maka dari penjelasan
tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah
tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.
لا = Huruf nafi lil jins masuk pada mubtada’ dan khobar artinya
Tidak ada
إله = Mubtada’ yang berubah menjadi isimnya Laa artinya yang
disembah
إلا = Khobar
mubtada’ yang dibuang yang berubah menjadi khobarnya Laa taqdirnya haqqun (yang
benar)
الله = Yang di perkecualikan dari hukum sebelumnya yaitu penafian
seluruh ilahi
Makna Laa
Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf
Berkata Al-Wazir
Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa”
menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka
tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan
itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada th agh ut dan
beriman kepada Allah. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan
kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu
telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Berkata Imam
Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul
(seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah
pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah
itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.
Berkata Imam Ibnul
Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh
hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya,
pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan
tawakkal (pada-Nya).”
Berkata Imam Ibnu
Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai
karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan
bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh
kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan
makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan
penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk
(kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal
tersebut terdapat padanya”.
Berkata Al-Imam
Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar
dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena
sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah
peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan
sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai
dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah
kebodohan semata”.
Berkata Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan
kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka.
Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja
selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada
Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam .
Lihat : Fathul
Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.
Dari penjelasan di
atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun
asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim
yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama : An-Nafyu
(penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu
menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk,
baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah
bahkan Rasul yang diutus sekalipun.
Kedua : Al-Itsbat
(penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu
menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji,
menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan,
ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca
Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu
sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat
seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya
tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi
juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan
dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua
dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di antaranya :
وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ
مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا
فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak
mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ
وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ
لَهـاَ
“Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).
Kalimat yang agung “Laa
Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya,
tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti
artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq
mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari
neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya.
Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang
kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para
wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka
menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang
menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak
menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan,
perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa
Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat
terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang
disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ
مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
Ilmu,
keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama
cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah
(syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu
terhadap sesuatu
selain dari
Allah yang telah disembah
Makna-makna
yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah
- Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau
diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya,
mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah
yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah
Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih
musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau
tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak
dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.
Dan yang lebih
mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang
mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang
dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja
keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa
banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini
telah dinyatakan oleh para Ahlul bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah
para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul
Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau kita
perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah.
Sebab ilah maknanya “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa
banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah
sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja
seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian
dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ
يَعْلَمُوْنَ
“Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala
puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS.
Luqman : 31/25).
Demikianlah kaum
musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi
bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus
menerus mereka diperangi oleh Rasulullah .
- Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)
Kalimat ini juga
maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah
sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi.
Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat
Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut
mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .
Sedangkan hukum
Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang
ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling
pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang
yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan,
kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an .
Lihat kitab Makna
Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.
- Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna dan tafsiran
ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa)
yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka
mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna
ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun
atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar
adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari
sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia
ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin,
patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah
manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak
terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang
disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang
kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.
- Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini umumnya
dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka
menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa
Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah
bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi
sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.
- Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)
Maka tafsiran ini
batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud
dengannya untuk meyakini ‘ Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan
dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya
keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah, sebagaimana
firman Allah dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :
- لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga
menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur :
102/6-7).
Maka meyakini
sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan
tauhid.
Dan masih banyak
makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di
atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas.
Wallahu A’lam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar