“Sesungguhnya
kesyirikan itu adalah kezhaliman yang paling besar.” [ Luqman: 13 ]
Sebab-sebab kesyirikan sangatlah banyak, dan yang akan
disebutkan adalah pokok-pokoknya, yang dari pokok-pokok inilah kemudian
sebab-sebab itu bercabang-cabang. Pokok-pokok itu antara lain:
Berlebih-Lebihan Dalam Memuji
Pertama, Berlebih
lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, padahal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah mengingatkan
dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari hadits ‘Umar radhiyallahu
‘anhu,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ
النَصَارَى عِيْسَى
بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian Ithra`
kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara Ithra` terhadap ‘Isa bin
Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba
Allah dan Rasul-Nya.”
Ithra` adalah
melampaui batas dalam memuji. Jadi, maksud hadits di atas adalah “Janganlah
kalian memujiku dengan melampaui batas sebagaimana Nashara telah
berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam sampai mereka mengangkatnya
sebagai Ilah yang patut disembah, tetapi sifatilah saya sebagai
hamba-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati
saya dalam Al Qur`an,
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada
hamba-Nya Al-Kitab (Al Qur`an) dan Dia
tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” [ Al-Kahfi: 1 ] ”
Akan tetapi orang-orang musyrikin dari dahulu sampai
sekarang tidak mau kecuali menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dan melanggar larangannya. Mereka mengagungkan
beliau secara berlebihan dan melakukan hal-hal yang beliau telah melarang dan
memperingatkan umatnya dari hal tersebut, yaitu berlebihan dalam mengagungkan
beliau. Mereka menyerupai orang-orang Nashara yang berlebihan dalam memuji
nabinya. Di antara bentuk kesyirikan dari jenis ini adalah syair Al Bushiry di dalam
Al-Burdah . Dia berkata,
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ
أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ
“Wahai Makhluk yang paling mulia, kepada siapa saya memohon
perlindungan, kecuali kepadamu jika terjadi musibah yang besar.”
Lalu perkataannya yang lain,
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا
وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ الْلَوْحِ وَالْقَلَمِ
“Sesungguhnya dari kemuliaanmu lahir dunia dan pasangannya
(akhirat) dan termasuk dari ilmumu ilmu Lauh
Mahfudz dan Al-Qalam.”
Bait-bait syair seperti ini mengandung doa, permintaan dan
perlindungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Juga berisi permintaan agar dihilangkan kesempitan hidup, kesengsaraan serta
kerusakan dari penulisnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini bisa terjadi karena
syaitan menghias-hiasi perbuatan mereka. Syaithan menampakkan kepada mereka,
bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam, walaupun hal itu merupakan syirik akbar, adalah dalam
rangka mencintai dan memuji Nabi. Dia juga menampakkan bahwa berpegang teguh
kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu
tidak berlebihan dalam memujinya merupakan perbuatan membenci, mengurangi hak,
enggan untuk bershalawat, dan tidak memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam. Allahu Musta’an .
Kedua, Berlebih-lebihan
dalam memuji orang-orang shalih.
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam saja terlarang, maka berlebih-lebihan kepada
selain beliau, seperti orang-orang shalih, jelas lebih terlarang lagi. Hal
inilah yang merupakan penyebab kesyirikan pertama pada umat manusia, yaitu pada
umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an,
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr.’.” [ Nuh: 23 ]
Imam Bukhary mengeluarkan dalam Shahih -nya
(8/667) tentang tafsir ayat ini, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu, bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,
ثُمَّ صَارَتْ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ
فِي قَوْمِ نُوْحٍ فِي العَرَبِ بَعْدُ. أَمَّا وَدُّ كَانَتْ
لِكَلْبِ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ, وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ, وَأَمَّا
يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادِ ثُمَّ لِبَنِي غَطِيْفِ بِالجَوْفِ ثُمَّ
سَبَأَ, وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانِ وَأَمَّا نَسْرٌ
فَكَانَتْ لِحِمْيَرِ لآِلِ ذِي الكَلاَعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ
قَوْمِ نُوْحٍ فَلَمَّا هَلَكُوْا أَوْحَى
الشَيْطَانُ
إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصَبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ
الَّتِي
كَانُوْا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوْهَا بِأَسْمَائِهِمْ
فَفَعَلُوْا
فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنْسَخُ
العِلْمُ
عُبِدَتْ
“Kemudian jadilah patung-patung yang ada pada kaum Nabi Nuh
‘alaihis salam disembah di Jazirah Arab setelahnya. Adapun Wadd adalah patung
kepunyaan Kalb di Daumatul Jundal. Adapun Suwa` adalah patung kepunyaan Hudzail.
Adapun Yaghuts adalah patung kepunyaan Muradi yang kemudian untuk Bany Ghathif
di daerah Jauf kemudian Saba`. Adapun Ya ’uq adalah patung kepunyaan Hamdan.
Adapun Nasr adalah patung kepunyaan Himyar khususnya keluarga Dzil Kala’.
(Kelima nama ini) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihis
salam. Maka tatkala mereka (orang-orang shalih) itu wafat, syaithan
mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung pada majelis-majelis
mereka yang mereka biasa duduk padanya (dalam rangka mengingat mereka), dan
(syaithan juga mempengaruhi mereka) agar mereka menamakan patung-patung
terrsebut dengan nama-nama orang shalih tersebut. Maka mereka pun (kaum Nuh)
melakukannya. Dan ketika itu mereka (patung-patung itu) belum disembah. Akan
tetapi, tatkala orang-orang yang membuat patung tersebut telah meninggal dan
ilmu agama telah hilang, maka patung-patung itu pun disembah .” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang
ayat ini).
Yang dimaksud dengan berlebih-lebihan terhadap
orang-orang shalih adalah mengangkat mereka pada kedudukan yang tidak ada
yang boleh mendudukinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni istighatsah
tatkala terkena kesusahan atau tatkala ditimpa bencana, tawaf di
kuburan mereka, tabarruk ‘mencari berkah’ dari barang-barang peninggalan
mereka, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada mereka, meminta pertolongan kepada mereka padahal mereka telah
meninggal, dan lain-lain.
Telah terjadi pula pada umat ini, seperti apa yang terjadi
pada umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, tatkala syaithan menampakkan kepada
kebanyakan orang bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dan bid’ah-bid’ah
adalah pengagungan dan bukti kecintaan terhadap orang-orang shalih. Kemudian
syaithan memengaruhi kebanyakan orang tersebut agar membangun kuburan-kuburan
orang-orang shalih itu, i’tikaf di situ dan menganggap berdoa di tempat itu
diterima. Kemudian meningkat lagi ke bentuk keharaman yang lebih tinggi, bahkan
sampai kepada kesyirikan, seperti berdoa dan bertawassul kepada orang-orang
shalih itu. Kemudian berpindah lagi kepada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu
mengajak manusia untuk beribadah kepada kuburan-kuburan tersebut, dalam bentuk
menjadikan hari-hari tertentu sebagai hari peringatan untuk mengunjungi
kuburan-kuburan tersebut dan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu padanya. Kalau
semua hal di atas telah tetap dan mendarah daging, berpindah lagi kepada yang
lebih jelek yaitu, meyakini bahwasanya barangsiapa yang melarang
perbuatan-perbuatan seperti itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang
merendahkan derajat serta membenci para wali. Kebanyakan orang tersebut
meyakini bahwa orang yang melarang perbuatan mereka adalah orang yang tidak
memiliki penghormatan, pemuliaan dan pengakuan terhadap kedudukan para wali
tersebut. Keyakinan ini telah menghunjam kuat di dalam hati orang-orang awam
yang bodoh, bahkan orang-orang yang dianggap mempunyai ilmu agama, sehingga
mereka memusuhi ahli tauhid dan menggelarinya dengan gelar-gelar yang buruk
yang menyebabkan manusia lari dari ahli tauhid tersebut. Mereka memusuhi ahli
tauhid dengan mengatasnamakan kecintaan dan pengagungan kepada orang-orang
shalih, padahal mereka itu berdusta, karena mencintai orang-orang shalih
hakikatnya adalah sejalan dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah menurut
pemahaman para Salaf Ash-Shalih. Adapun caranya adalah dengan mengetahui
keutamaan-keutamaan Salaf Ash-Shalih tersebut dan mencontoh
amalan-amalan shaleh mereka, tanpa meremehkan atau bersikap berlebih-lebihan
terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ‘Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [ Al-Hasyr: 10 ]
Ta’ashshub
(Fanatik) Terhadap Peninggalan Nenek Moyang Walaupun Itu Bathil dan Menyelisihi
yang Haq Khususnya Dalam Masalah Aqidah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
pun sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka.’.” [
Az-Zukhruf: 23 ]
Tetapi hujjah mereka ini dalam mengikuti nenek moyang telah
terbantah oleh firman Allah lainnya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
[ Al-Baqarah: 170 ]
Keyakinan inilah yang merasuk dan tertanam dalam jiwa-jiwa
kaum musyrikin dari dahulu hingga sekarang, sehingga mereka menentang dakwah
para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta ’ala tentang kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya,
lalu ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada
Tuhan bagi kalian selain Dia. Maka mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’
Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini
tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi
seorang yang lebih tinggi dari kalian. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia
mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang
seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.’.” [ Al-Mu`minun: 23-24 ]
Lihat pula keadaan kaum Nabi Shalih ‘alaihis salam,
“Kaum Tsamud berkata, ‘Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum
ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami
untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?’.” [ Hud: 62 ]
Juga perhatikan kaum Nabi Ibrahim ‘alahis salam,
“Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu) sebenarnya. Kami
mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.” [ Asy-Syu’ara`: 74 ]
kemudian tentang orang-orang musyrikin Arab dan yang
mengikuti mereka hingga kini yang berkata kepada Rasulullah, Muhammad shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam, dan orang-orang yang mengikuti beliau,
“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata),
‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal
(mengesakan Allah) ini dalam agama yang terakhir. Hal ini tidak lain hanyalah
(dusta) yang diada-adakan.” [
Shad: 6-7 ]
Namun perlu diketahui, bahwa perbuatan mengikuti nenek
moyang kadang terpuji bila nenek moyang tersebut berada di atas kebenaran,
sebagaimana Nabi Yusuf mengikuti nenek moyangnya,
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim,
Ishaq, dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Allah.” [ Yusuf: 38 ]
Senada pula dengannya surah Ath-Thur ayat 21.
Kejahilan atau Kebodohan Terhadap Aqidah yang Benar
Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk mempelajari aqidah
yang benar dan mengajarkannya, atau sangat sedikitnya perhatian dan
pemeliharaan terhadapnya sehingga melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah
yang benar atau tidak mengenal hal-hal yang menyelisihi dan membatalkannya,
sehingga pada akhirnya dia meyakini yang batil itu haq dan yang haq itu batil,
sebagaimana perkataan Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya akan dicabut nilai-nilai keislaman sedikit demi sedikit jika di
dalam Islam tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.”
Kebodohan ini merata dan merajalela di tengah-tengah masyarakat Islam. Di
antara kebodohan tersebut misalnya pemahaman terhadap tauhid yang hanya
terbatas pada tauhid Rububiyah saja, seperti anggapan bahwa orang-orang
musyrik dahulu dikatakan musyrik karena mereka meyakini patung-patungnya mampu
menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat dan mudarat. Anggapan ini adalah
asal kesesatan mayoritas manusia, yang sebab mendasar dari tersebarnya
pemahaman ini di kalangan manusia adalah filsafat Yunani yang tercela dan
orang-orang yang mengambil ilmu dari mereka dari ahli kalam yang mereka itu
memusatkan perhatian dalam menafsirkan kalimat tauhid dengan tafsiran tauhid Rububiyah
saja.
Yang haq, tidak ada keraguan padanya, dijadikan dasar
penerapan oleh seluruh ulama, dan sesuai dengan penjelasan Al Qur`an adalah
bahwasanya orang-orang musyrik dahulu pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki
mereka. Mereka menetapkan tauhid Rububiyah dalam perbuatan-perbuatan
Allah, yaitu mencipta, memberi rezeki, mengatur urusan, menghidupkan,
mematikan, dan sebagainya, yang mereka tidak meyakini sedikit pun adanya
sesuatu yang menyamai Allah dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Itulah yang
dinamakan oleh para ulama sebagai tauhid Rububiyah. Akan tetapi mereka
tidak mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan mereka, yakni berdoa,
meminta pertolongan, mengharap, menyembelih, bernadzar, dan sebagainya, yang
para ulama menamakannya sebagai tauhid Uluhiyah atau tauhid Ibadah.
Untuk memperjelas masalah ini, perhatikanlah beberapa ayat
dalam Al Qur`an yang menjelaskan dengan berbagai macam pendalilan yang
menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah
sementara kesyirikan mereka adalah dalam tauhid Uluhiyah.
Jenis pertama
, ayat-ayat yang menjelaskan tentang penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian
dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian
tidak bertakwa (kepada-Nya)?’.” [
Yunus: 31 ]
Kemudian firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang
ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’
Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Rabb-nya langit yang tujuh dan Rabb-nya `Arsy
yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah
kalian tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang
dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan
menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka bagaimana
kalian bisa tertipu/tersihir?’.” [ Al-Mu`minun: 84-89 ]
Lihat pula surah Al-Ankabut: 61-63, Luqman: 25, dan
Az-Zumar: 38.
Ayat-ayat tersebut menggambarkan keyakinan orang-orang
musyrikin Arab dahulu dan orang-orang musyrik selain mereka yang menetapkan
tauhid Rububiyah, kemudian, dengan mengambil konsekuensi dari pengakuan
mereka terhadap tauhid Rububiyah, mereka dipojokkan dengan pertanyaan
tentang pengingkaran mereka terhadap tauhid Uluhiyah. Lalu bagaimana
dengan orang yang mengingkari tentang hal ini dan mengatakan bahwasanya
orang-orang musyrikin tidak menetapkannya padahal Allah telah menceritakan
penetapan mereka di dalam Al-Qur`an .
Jenis kedua
, ayat-ayat yang menjelaskan persaksian mereka tentang adanya sembahan-sembahan
selain Allah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘ Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’
Katakanlah, ‘ Allah.’ Dia menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al Qur`an
ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kalian
dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur`an (kepadanya). Apakah sesungguhnya
kalian mengakui bahwasanya ada sembahan-sembahan yang lain di samping Allah?
Katakanlah, ‘ Aku tidak mengakui.’ Katakanlah, ‘ Sesungguhnya Dia adalah
sembahan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian
persekutukan (dengan Allah).’.”
[ Al-An’am: 19 ]
Ayat yang mulia ini memberikan faidah bahwasanya orang-orang
musyrikin mempersaksikan bahwasanya Allah adalah Ilah (sesembahan)
mereka, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya bersama Allah ada
sembahan-sembahan yang lain. Persaksian mereka ini dikuatkan dengan sumpah,
penguat dengan kata anna dan huruf lam. Maka lafadz ma’a
pada firman Allah, أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ
مَعَ اللَّهِ ءَالِهَةً أُخْرَى ,
menunjukkan bahwasanya mereka menetapkan Rububiyah Allah dan
sekaligus Uluhiyah-nya, akan tetapi mereka menjadikan bersama Allah ilah-ilah
yang lain. Maka kesyirikan mereka dari sisi penyekutuan mereka kepada ilah-ilah
bersama Allah yang mereka menghadap kepada ilah-ilah itu dengan
menjadikannya sebagai perantara untuk menghubungkan mereka kepada Allah,
menyampaikan hajat dengan berdoa kepada mereka. Ini adalah keyakinan dan agama
mereka. Makna seperti ini terdapat di dalam Al Qur`an dalam ayat-ayat yang
banyak, di antaranya firman Allah dalam beberapa ayat,
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)?
Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).
Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang
menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung
untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di
samping Allah ada sembahan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari
mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang
berada dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah
di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan
dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira
sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang
lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).
Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian
mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepada kalian
dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)?
Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang
orang-orang yang benar.’.” [
An-Naml: 60-64 ]
Lihat pula surah Al-Hijr: 95-96.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur`an
apa yang diyakini oleh orang-orang musyrikin bahwasanya bersama Allah ada ilah-ilah
(sembahan) yang lain. Mereka menetapkan Rububiyah Allah dan Uluhiyah-Nya
akan tetapi menjadikan bersama-Nya ilah-ilah yang lain dalam beribadah.
Siapa yang memperhatikan dan mentadabburi ayat-ayat yang mulia ini, maka akan
dibukakan baginya pintu-pintu ilmu yang membawanya kepada pemahaman yang shahih
tentang aqidah yang shahih.
Jenis ketiga
, ayat-ayat yang berisi pengakuan dan penetapan mereka atas kesyirikan mereka.
Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Akan berkata orang-orang musyrikin, ‘Seandainya Allah
menginginkan, maka kami tidak akan berbuat kesyirikan dan tidak pula bapak-bapak
kami, dan tidak pula mengharamkan sesuatu apapun.’.” [ Al-An’am: 148 ]
Ayat ini memberikan faidah bahwasanya mereka menetapkan pada
diri mereka kesyirikan dalam ibadah. Mereka mengakui dirinya berbuat kesyirikan
dalam Uluhiyah-Nya Allah pada saat mereka menetapkan Rububiyah-Nya.
Jenis keempat
, ayat-ayat yang menggambarkan bahwa terjadinya kesyirikan mereka adalah di
saat senang/lapang.
Di antaranya firman Allah,
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah
dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat, seketika mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [ Al-‘Ankabut: 65 ]
Perhatikan pula ayat yang semakna dengannya dalam surah
Luqman: 32.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dialah Tuhan yang menjadikan kalian dapat berjalan di
daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kalian berada di dalam bahtera,
dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan
tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai,
dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin
bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika
engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur.’.”
[ Yunus: 22 ]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan dalam ayat-ayat
di atas bahwasanya orang-orang musyrikin, yang mendustakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dan memerangi beliau, tidak berbuat kesyirikan
kecuali dalam keadaan lapang dan senang dan bukan dalam keadaan susah atau
tertimpa bencana dan kesulitan. Mereka pada saat seperti itu mengikhlaskan
agama hanya kepada Allah, tidak berdoa kepada selain-Nya dan tidak mengambil
perantara antara dirinya dengan Allah. Maka bagaimana dengan orang yang
mengatakan bahwasanya orang-orang kafir itu musyrik dalam Rububiyah
Allah tidak dalam ibadah kepada-Nya. Apakah mungkin mereka itu berdoa dalam
keadaan ikhlas ketika ditimpa bencana kalau mereka tidak meyakini Rububiyah
dan Uluhiyah-Nya?
Jenis kelima
, ayat-ayat yang menggambarkan penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah
dan kesyirikan mereka dalam tauhid Uluhiyah:
Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain).” [ Yusuf: 106 ]
Iman mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta ’ala adalah
ucapan mereka bahwasanya Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, serta yang
mematikan dan menghidupkan mereka. Selain itu, kesyirikan mereka adalah tatkala
mereka menjadikan bagi Allah serikat dalam ibadah dan berdoa kepada-Nya. Maka
mereka tidak mengikhlaskan bagi-Nya dengan meminta hanya kepada-Nya.
Demikianlah tafsir ayat di atas menurut para ahli tafsir, yakni Ibnu Abbas,
Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Atha’, dan selain mereka. (Lihat Tafsir Ibnu
Jarir dan Ibnu Abi Hatim tentang ayat ini).
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan
bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah adalah:
Pertama, hadits
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam Shahih Muslim (2/4),
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الفَجْر,ُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ.
فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ, وَإِلاَّ أَغَارَ. فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ :
الله أكبر الله أكبر. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : عَلَى
الفِطْرَةُ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خَرَجْتَ مِنَ
النَّارِ. فَنَظَرُوْا فَإِذَا هُوَ رَاعِيُ مُعْزِى.
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menyerang jika telah terbit fajar, dan beliau menunggu adzan. Kalau mendengar
adzan, beliau menahan (tidak menyerang), dan kalau tidak, beliau menyerang.
Lalu beliau mendengar seseorang mengatakan , ‘ Allahu Akbar, Allahu Akbar ,’ maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan , ‘ Di atas fitrah.’ Kemudian
orang tadi berkata, ‘ Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu alla
ilaha illallah ,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
bersabda, ‘ Kamu selamat dari neraka.’ Kemudian para shahabat melihat ternyata
orang itu hanyalah seorang pengembala kambing.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
“Di atas fitrah”, kepada orang yang berkata, “Allahu akbar”, memberikan
faidah bahwasanya perkataan orang ini dan apa yang ditunjukkannya berupa makna Rububiyah
adalah merupakan suatu fitrah yang telah tetap bagi manusia, oleh sebab itu
Rasulullah belum menghukuminya sebagai orang yang selamat dari neraka dan
sebagai orang Islam kecuali setelah ucapannya, “Asyhadu alla ilaha illallah”,
syahadat yang mengandung pengingkaran kepada seluruh yang disembah selain
Allah, dan itulah tauhid Uluhiyah.
Kedua, dalam Shahih
Muslim (15/11 serta Syarh An-Nawawy ) dari hadits ‘Amr
Ibnu Asy-Syarid, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَدِفْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ : هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةِ بْنِ
أَبِي الصَّلْتَ شَيْئًا ؟ قُلْتُ : نعم. قَالَ : هِيْهِ, فَأَنْشَدَتْهُ بَيْتًا
فَقَالَ : هيه, ثُمَّ أَنْشَدَتْهُ بَيْتًا
فَقَالَ : هيه حتى أنشدته مِائَةَ بَيْتٍ
“Saya membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam pada suatu hari, kemudian beliau berkata, ‘Apakah kamu menghafal sesuatu
dari sya’ir ‘Umayyah Ibnu Abi Ash Shalt?’ Saya menjawab, ‘Iya.’ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata lagi, ‘Perdengarkan!’ Maka saya
pun memperdengarkan satu bait sya’ir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ maka saya menambah lagi satu bait.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah
lagi,’ sampai saya membawakan 100 bait.”
Dalam riwayat yang lain, dari riwayat ‘Abdurrahman Ibnu
Mahdy, ada tambahan “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena
sya’irnya.”
Maka perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam, “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena
sya’irnya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak
menghukumi baginya Islam dengan sekedar tauhidnya bahwasanya Allah pencipta,
menghidupkan dan mematikan dan sebagainya, dan dia (‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt)
termasuk orang-orang kafir yang ada pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam.
Berkata Imam An-Nawawy, “Nabi meminta tambahan dari
syair-syairnya karena di dalamnya terkandung penetapan terhadap Rububiyah Allah
dan hari kebangkitan.”
Sya’ir-sya’ir yang menunjukkan bahwasanya orang-orang
musyrikin Arab menetapkan tauhid Rububiyah semata di antaranya Sya’ir
‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt,
الْحَمْدُ للهِ مَمْسَانَا
وَمَصْبَحِنَا بِالخَيْرِ صَبَّحَنَا رَبِّي وَ مَسَّانَا
رَبِّ الحَنَفِيَّةِ لَمْ تَنْفُدْ
خَزَائِنُهَا مَمْلُوْءَةً طِبْقَ الْآفَاقِ أَشْطَانَا
أَلاَّ نَبِيَّ لَنَا مِنَّا
فَيُخْبِرُنَا مَا بَعْدَ غَايَتِنَا مِنْ رَأْسٍ هُجْرَانَا
Tidak ada komentar:
Posting Komentar